Beranda | Artikel
Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 1)
Jumat, 18 Juni 2021

Poin pertama

Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.

Poin kedua

Kaidah umum dalam tema ini adalah bahwa properti tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Dengan demikian, pada asalnya tidak ada kewajiban zakat atas properti kecuali properti tersebut menjadi komoditi dagang.

Poin ketiga

Properti yang difungsikan pemiliknya untuk tempat tinggal atau pemanfaatan pribadi lainnya seperti gudang dan semacamnya, tidak dibebani kewajiban zakat berdasarkan kesepakatan ulama. Karena dalam kondisi ini, properti tersebut difungsikan sebagai harta qinyah/aktiva tetap (harta yang kepemilikannya tetap dan difungsikan untuk pemanfaatan pribadi).

Harta yang demikian tidak wajib dizakati berdasarkan kesepakatan ulama, baik pemanfaatan tersebut diniatkan sejak pembelian atau setelahnya. Adanya niat kepemilikan untuk dimanfaatkan secara pribadi menjadikan properti tersebut harta yang tidak perlu dizakati meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun dengan catatan niat pemiliknya tidak berubah.

Baca Juga: Hukum Menganggap Lunas Hutang dengan Niat Zakat

Poin keempat

Lahan pertanian dan perkebunan tidak wajib dizakati. Yang wajib dizakati adalah hasil pertanian dan perkebunannya. Jika seseorang membeli sebuah lahan untuk diperdagangkan, kemudian dia memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani/berkebun dalam periode penawaran ke pembeli, maka ketika panen dia berkewajiban menunaikan zakat atas hasil pertanian/perkebunan sebanyak 10% dan menunaikan zakat atas lahan tersebut berdasarkan harga pasar.

Alasannya adalah  dalam kondisi ini terdapat kewajiban yang masing-masing memiliki sebab timbulnya kewajiban zakat yang berbeda, di mana penunaian kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.

Zakariya al-Anshari rahimahullah mengatakan,

فَإِنْ زَرَعَ زَرْعًا لِلْقِنْيَةِ فِي أَرْضٍ لِلتِّجَارَةِ : فَلِكُلٍّ مِنْهُمَا حُكْمُهُ ، فَتَجِبُ زَكَاةُ الْعَيْنِ فِي الزَّرْعِ ، وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي الْأَرْضِ

“Apabila dia bertani untuk dimiliki di atas lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, maka berlaku hukum zakat untuk kedua hal tersebut. Berlaku kewajiban zakat untuk hasil pertanian dan zakat perdagangan untuk lahan tersebut” (Asna al-Mathalib, 1: 385).

Poin kelima

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang dimiliki dengan niat dimanfaatkan, sehingga mendatangkan keuntungan seperti untuk disewakan dan mengambil keuntungan dari profit yang ada. Zakat hanya berlaku atas biaya sewa yang dihasilkan dari properti tersebut, jika terpenuhi nisab dan haul. Sehingga tidak ada kewajiban zakat atas setiap properti seperti rumah, gudang, apartemen berperabot, toko, dan bangunan jika direncanakan untuk disewakan menurut mayoritas ulama. Dengan demikian tidak perlu melakukan penilaian (apparaisal) terhadap properti tersebut pada setiap tahun untuk dikeluarkan zakatnya.

Poin keenam

Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Al-Mawardi rahimahullah mengatakan,

مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ

“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan).” (al-Inshaf, 3: 154)

Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi, atau yang semisal. Sedangkan perdagangan adalah menjual barang dengan niat memperoleh keuntungan.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah menyebutkan kasus di mana seseorang memiliki lahan yang dibeli dengan niat ke depannya akan didirikan rumah di atasnya. Kemudian niatnya berubah sehingga dia berkeinginan untuk menjual lahan tersebut karena tidak membutuhkannya lagi. Dan pada kasus yang serupa, seseorang memiliki beberapa lahan kemudian dia memiliki kebutuhan sehingga dia berniat menjual salah satu lahannya agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

فليس عليه زكاة لا في هذه ولا في التي قبلها , لأنه ما نوى البيع هنا للتجارة , لكن نواه في المسألة الأولى لاستغنائه عنها , وفي المسألة الثانية نواه لحاجته إلى قيمتها , بخلاف صاحب العروض فإنه ينتظر فيها الربح ، فهو من الأصل لا يريد إلا أن تكون للتجارة

“Tidak ada kewajiban zakat yang wajib ditunaikan orang tersebut, tidak pada kasus yang pertama maupun yang kedua. Hal ini karena penjualan yang diniatkan bukan untuk perdagangan. Akan tetapi, pada kasus pertama, dia menjual lahan karena memang tidak membutuhkannya lagi. Dan pada kasus yang kedua, dia berniat menjual lahan untuk memenuhi kebutuhannya dengan hasil penjualan tersebut. Hal ini berbeda dengan pelaku dagang, di mana dia akan mengharapkan keuntungan dari lahan yang dijual. Sehingga pada asalnya, tidak ada niat lain selain menjadikan lahan tersebut sebagai komoditi perdagangan.” (Fath Dzi al-Jalal, 6: 173)

Poin ketujuh

Tidak ada kewajiban zakat jika properti dimiliki seseorang dan dia tidak memiliki niat yang kuat untuk menjadikan properti itu sebagai komoditi perdagangan, atau dia tidak menentukan niat spesifik untuk properti yang dimilikinya.

Al-Qarafi rahimahullah mengatakan,

فَإِنِ اشْتَرَى وَلَا نِيَّةَ لَهُ فَهِيَ لِلْقِنْيَةِ ؛ لِأَنَّهُ الْأَصْلُ فِيهَا

“Jika seseorang membeli properti, namun tidak memiliki niat tertentu terhadapnya, maka properti tersebut berstatus harta qinyah. Karena itulah hukum asal bagi properti.” (adz-Dzakhirah, 3: 18)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya perihal apakah terdapat kewajiban zakat bagi seseorang yang memiliki tanah, namun dia memiliki keinginan beragam terhadap tanah tersebut, entah dijual, dibangun bangunan di atasnya, disewakan, atau ditempati?

Beliau rahimahullah menjawab,

هذه الأرض ليس فيها زكاة أصلاً ما دام ليس عنده عزم أكيد على أنها تجارة ، فليس فيها زكاة لأنه متردد ، ومع التردد لو واحداً في المائة فلا زكاة عليه

“Lahan ini tidak wajib dizakati sama sekali selama tidak ada tekad dari pemilik untuk memperdagangkannya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat yang mesti ditunaikan orang tersebut karena terdapat keraguan. Adanya keragu-raguan tersebut meski sekadar 1% menyebabkan tidak adanya kewajiban zakat.” (Fatawa az-Zakah wa ash-Shiyam, hlm. 193).

Poin kedelapan

Terdapat perbedaan pendapat para ulama apabila properti dimiliki untuk dijadikan sebagai harta qinyah atau tempat tinggal, kemudian setelah itu pemiliknya berniat menjadikannya komoditi perdagangan. Telah disampaikan sebelumnya tarjih yang menyatakan wajibnya zakat atas properti tersebut.

Poin kesembilan

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang semula diniatkan untuk diperdagangkan, kemudian sebelum tercapai haul, pemilik mengubah niatnya sehingga properti tersebut sekadar menjadi harta qinyah atau diniatkan untuk dimanfaatkan secara pribadi atau disewakan. Hal ini dikarenakan niat memperdagangkan yang menjadi syarat wajibnya zakat adalah niat tersebut tetap ada hingga akhir haul. Apabila pemilik mengubah niat sebelum tercapai haul, gugurlah kewajiban zakat.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

لَوْ قَصَدَ الْقُنْيَةَ بِمَالِ التِّجَارَةِ الَّذِي عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يَصِيرُ قُنْيَةً بِالِاتِّفَاقِ

“Jika pemilik berniat menjadikan komoditi perdagangan yang dimiliki sebagai harta qinyah, status komoditi tersebut berubah menjadi harta qinyah berdasarkan kesepakatan ulama mazhab.” (al-Majmu’ 6: 49)

Poin kesepuluh

Apabila properti dimiliki seseorang dengan niat sebagai harta qinyah disertai niat menjadikannya sebagai komoditi perdagangan, atau sebaliknya, maka yang menjadi tolok ukur adalah niat asal kepemilikan.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat apabila orang tersebut memiliki suatu komoditi dengan niat digunakan untuk pemanfaatan pribadi, dan terdapat niat lain yang mengikutinya. Di mana jika terdapat untung dengan menjual properti tersebut, dia akan menjualnya.

Dan wajib mengeluarkan zakat atas komoditi setiap tahun hingga laku terjual apabila pemilik memiliki suatu komoditi dengan niat untuk dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Di mana sebelum terjual, komoditi tersebut dimanfaatkan dan digunakan oleh pemilik.

Demikian juga, apabila pemilik berniat menggunakan dan mengambil manfaat dari properti tersebut dalam kurun waktu tertentu sebelum dijual, wajib menunaikan zakat perdagangan atas properti tersebut karena niat pemanfaatan yang pertama tidak menggugurkan status properti tersebut yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan.

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

Baca Juga:

[Bersambung]

Sumber: https://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.


Artikel asli: https://muslim.or.id/66792-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-1.html